TUGAS POK TOPIC 7
Mengupas Seluk Beluk
Fraud dan Cara Mengatasinya
Semua organisasi,
apapun jenis, bentuk, skala operasi dan kegiatannya memiliki risiko
terjadinya fraud atau kecurangan. Fraud atau kecurangan tersebut, selain memberi
keuntungan bagi pihak yang melakukannya, membawa dampak yang cukup fatal,
seperti misalnya hancurnya reputasi organisasi, kerugian organsisasi, kerugian
keuangan Negara, rusaknya moril karyawan serta dampak-dampak negatif lainnya.
Maraknya berita
mengenai investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam
perusahaan dan juga pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin
membuat sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan
tersebut. Walaupun saat ini sorotan utama sering terjadi pada manajemen puncak
perusahaan, atau terlebih lagi terhadap pejabat tinggi suatu instansi, namun
sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan
kerja organisasi.
Defenisi Fraud
Secara
harafiah fraud didefenisikan sebagai kecurangan, namun
pengertian ini telah dikembangkan lebih lanjut sehingga mempunyai cakupan yang
luas. Black’s Law Dictionary Fraud menguraikan
pengertian fraud mencakup segala macam yang dapat dipikirkan
manusia, dan yang diupayakan oleh seseorang, untuk mendapatkan keuntungan dari
orang lain dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua
cara yang tidak terduga, penuh siasat. Licik, tersembunyi, dan setiap cara yang
tidak jujur yang menyebabkan orang lain tertipu. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa fraud adalah perbuatan curang (cheating) yang
berkaitan dengan sejumlah uang atau properti.
Berdasarkan
defenisi dari The Institute of Internal Auditor (“IIA”), yang
dimaksud dengan fraud adalah “An array of irregularities
and illegal acts characterized by intentional deception”: sekumpulan
tindakan yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang ditandai dengan adanya
unsur kecurangan yang disengaja.
Webster’s New World
Dictionary mendefenisikan fraud sebagai suatu
pembohongan atau penipuan (deception) yang dilakukan demi kepentingan
pribadi, sementara International Standards of Auditing seksi
240 – The Auditor’s Responsibility to Consider Fraud in an Audit of
Financial Statement paragraph 6 mendefenisikan fraud sebagai
“…tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, pihak yang
berperan dalam governance perusahaan, karyawan, atau pihak
ketiga yang melakukan pembohongan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan
yang tidak adil atau illegal”.
Apapaun itu
defenisinya, menurutku fraud tetaplah fraud,
dimanapun itu dilakukan, baik dilingkungan swasta maupun di sektor publik.
Motifnya sama, yaitu sama-sama memperkacaya diri sendiri/golongan dan modus
operandinya sama, yaitu dengan melakukan cara-cara yang illegal.
Tipologi Fraud
Association of
Certified Fraud Examiners (“ACFE”) di Amerika serikat menyusun
peta mengenai fraud. Peta ini berbentuk pohon, dengan cabang dan
ranting. Tiga cabang utama dari fraud tree ini adalah Corruption, Asset
misappropriation dan fraudulent statement. Turunannya
lebih jauh dapat dilihat dalam gambar dibawah.
Ada enam ranting
yang muncul dari cabang corruption. Bandingkan ini dengan 30 (tiga
puluh) jenis tindak pidana korupsi dalam ketentutan perundang-undangan
Indonesia. Cabang kedua adalah Asset Misappropriation yang
dapat diartikan secara bebas sebagai penjarahan kekayaan perusahaan atau
lembaga. Kita bisa membayangkan banyaknya jenis fraud dalam
cabang ini, mulai dari pencurian uang secara terbuka (larceny),
pencurian dan penyalahgunaan (misuse) harta lembaga, sampai pada larceny secara
tidak langsung (rekening bank atas nama pejabat). Cabang ketiga (Fraudulent
Statement) merupakan fraud yang dilakukan dengan
menggunakan cara-cara akuntansi seperti earning managemen dan,
windows dressing. Kausus Enron merupakan contoh nyata dari tipe Fraud ini.
Sedangkan Delf
(2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime.
Ini jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak
yang mempunyai keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak
lain. Cybercrime juga akan menjadi jenis fraud yang
paling ditakuti di masa depan dimana teknologi berkembang dengan pesat dan
canggih.
Motivasi Melakukan Fraud
Pada umumnya fraud terjadi
karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara bersama, yaitu:
1.
Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud
2.
Peluang untuk melakuakn fraud
3.
Sikap atau rasionalisasi untuk membenarkan tindakan fraud.
Ketiga faktor tersebut digambarkan
dalam segitiga fraud (Fraud Triangle) berikut:
Opportunity biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian
inernal di organisasi tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda
individu atau kelompok yang sebelumnya tidak memiliki motif untk
melakukan fraud.
Pressure atau motivasi pada sesorang atau individu akan memebuat
mereka mencari kesempatan melakukan fraud, beberapa contoh pressure dapat
timbul karena masalah keuangan pribadi, Sifat-sifat buruk seperti berjudi,
narkoba, berhutang berlebihan dan tenggat waktu dan target kerja yang tidak
realistis.
Rationalization terjadi karena seseorang
mencari pembenaran atas aktifitasnya yang mengandung fraud. Pada
umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa
tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang
merupakan haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah
berbuat banyak untuk organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula
kondisi dimana pelaku tergoda untuk melakukan fraud karena
merasa rekan kerjanya juga melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi
atas tindakan fraud tersebut.
Faktor Pemicu Fraud
Terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan
kecurangan, yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu
·
Greed (keserakahan),
·
Opportunity (kesempatan),
·
Need (kebutuhan),
·
Exposure (pengungkapan).
Faktor Greed dan Need merupakan
faktor yang berhubungan dengan individu pelaku kecurangan (disebut juga faktor
individual). Sedangkan faktor Opportunity dan Exposure merupakan
faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan kecurangan
(disebut juga faktor generik/umum).
1. Faktor generic
–
Kesempatan (opportunity) untuk melakukan kecurangan tergantung pada
kedudukan pelaku terhadap objek kecurangan. Kesempatan untuk melakukan
kecurangan selalu ada pada setiap kedudukan. Namun, ada yang mempunyai
kesempatan besar dan ada yang kecil. Secara umum manajemen suatu
organisasi/perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan
kecurangan daripada karyawan;
–
Pengungkapan (exposure) suatu kecurangan belum menjamin tidak
terulangnya kecurangan tersebut baik oleh pelaku yang sama maupun oleh pelaku
yang lain. Oleh karena itu, setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan
sanksi apabila perbuatannya terungkap.
2. Faktor individu
–
Moral, faktor ini berhubungan dengan keserakahan (greed).
–
Motivasi, faktor ini berhubungan dengan kebutuhan (need), yang lebih
cenderung berhubungan dengan pandangan/pikiran dan keperluan pegawai/pejabat
yang terkait dengan aset yang dimiliki perusahaan/instansi/organisasi tempat ia
bekerja. Selain itu tekanan (pressure) yang dihadapi dalam bekerja dapat
menyebabkan orang yang jujur mempunyai motif untuk melakukan kecurangan.
Gejala Adanya Fraud
Fraud (Kecurangan) yang
dilakukan oleh manajemen umumnya lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan yang
dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu, perlu diketahui gejala yang
menunjukkan adanya kecurangan tersebut,
adapun gejala tersebut adalah:
1.
Gejala kecurangan pada manajemen
§ Ketidakcocokan
diantara manajemen puncak;
§ Moral dan motivasi
karyawan rendah;
§ Departemen
akuntansi kekurangan staf;
§ Tingkat komplain
yang tinggi terhadap organisasi/perusahaan dari pihak konsumen, pemasok, atau
badan otoritas;
§ Kekurangan kas
secara tidak teratur dan tidak terantisipasi;
§ Penjualan/laba
menurun sementara itu utang dan piutang dagang meningkat;
§ Perusahaan
mengambil kredit sampai batas maksimal untuk jangka waktu yang lama;
§ Terdapat kelebihan
persediaan yang signifikan;
§ Terdapat
peningkatan jumlah ayat jurnal penyesuaian pada akhir tahun buku.
2.
Gejala kecurangan pada karyawan/pegawai
§ Pembuatan ayat
jurnal penyesuaian tanpa otorisasi manajemen dan tanpa perincian/penjelasan
pendukung;
§ Pengeluaran tanpa
dokumen pendukung;
§ Pencatatan yang
salah/tidak akurat pada buku jurnal/besar;
§ Penghancuran,
penghilangan, pengrusakan dokumen pendukung pembayaran;
§ Kekurangan barang
yang diterima;
§ Kemahalan harga
barang yang dibeli;
§ Faktur ganda;
§ Penggantian mutu
barang.
Perilaku Pelaku Fraud
Berikut merupakan beberapa perilaku
seseorang yang harus menjadi perhatian karena dapat merupakan indikasi adanya
kecurangan yang dilakukan orang tersebut, yaitu:
§ Perubahan perilaku
secara signifikan, seperti: easy going, tidak seperti biasanya,
gaya hidup mewah, mobil atau pakaian mahal;
§ Gaya hidup di atas
rata-rata;
§ Sedang mengalami
trauma emosional di rumah atau tempat kerja;
§ Penjudi berat;
§ Peminum berat;
§ Sedang dililit
utang;
§ Temuan audit atas
kekeliruan (error) atau ketidakberesan (irregularities) dianggap
tidak material ketika ditemukan;
§ Bekerja tenang,
bekerja keras, bekerja melampaui jam kerja, sering bekerja sendiri.
Fraud dalam Pengelolaan Keuangan
Negara
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan
Century Gate. Kedua kasus ini memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan
dana talangan yang diberikan pemerintah yang seharusnya untuk menyelamatkan
kondisi modal perbankan namun dana tersebut oleh manajemen malah
diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau bisnisnya yang lain.
Pengadaan Barang dan Jasa. Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikusumo pada Kongres ISEI 1993 memperkirakan kebocoran keungan
Negara sekitar 30% dari pengadaan barang dan jasa. Kerugian ini bervariasi dari
department ke department sampai ke tingkat pemerintah daerah. JIka
dilakukan penelitian untuk tahun-tahun sekarang ini kemungkinan persentasenya
akan lebih besar lagi, karena otonomi daerah membawa dampak adanya raja-raja
kecil di daerah yang menuntut bagian proyek pengadaan barang dan jasa.
Penyediaan Barang dan Jasa Publik. Teorinya pubic
goods disediakan untuk masyarakat luas, tanpa diskriminasi. Namun,
berbagai faktor memberi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menikmati public
goods seolah-olah itu merupakan private goods bagi
mereka. Contohnya saja jasa keamanan yang merupakan public goods yang
disediakan TNI/Polri dapat dinikmati oleh orang atau perusahaan yang membayar
harga yang tepat. Demikian pula dengan kendaraan, rumah dinas, dll yang diakui
sepihak menjadi hak milik pejabat sebelumnya.
Peran Multinational Corporation
(MNC). Potensi fraud yang melibatkan perusahaan
atau pengusaha asing biasanya terletak pada perizinan usaha pertambangan dan
energi yang bisanya diperoleh dengan cara-cara penyuapan. Apalagi pemerintah
menerapkan production sharing atas lokasi-lokasi pertambangan
di tanah air yang sangat rentan diselewengkan oleh para operator pertambangan.
Fraud pada
Penerimaan Negara. Sebenarnya volume fraud yang paling besar
bukan terletak pada sisi pengeluaran tetapi justru pada penerimaan Negara,
tengok saja kasus Bahasim dan Gayus Tambunan yang meraup kekayaan besar dalam
waktu singkat hanya dengna menyelewengkan prosedur perpajakan, atau membantu
mengurangi jumlah pajak kiennya. Di pemerintah daerah kasusnya lebih bergam
lagi, mulai dari pemetongan sekian persen dari pencairan anggaran, sampai
setoran penerimaan yang banyak dipotong untuk peruntukan yang tidak jelas.
Pencegahan dan Pendeteksian Fraud
Dalam mencegah dan mendeteksi serta
menangani fraud sebenarnya ada beberapa pihak yang terkait:
yaitu akuntan (baik sebagai auditor internal, auditor eksternal, atau auditor
forensik) dan manajemen perusahaan. Peran dan tanggung jawab msaing-masing
pihak ini dapat digambarkan sebagai suatu siklus yang dinamakan Fraud
Deterrence Cycle atau siklus pencegahan fraud seperti
gambar dibawah ini.
Corporate Governance dilakukan oleh manajemen yang
dirancang dalam rangka mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan
terjadinya fraud. Corporate governance meliputi
budaya perusahaan, kebijakan-kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
Transaction Level Control Process yang
dilakukan oleh auditor internal, pada dasarnya adalah proses yang lebih
bersifat preventif dan pengendalian yang bertujuan untuk memastikan bahwa hanya
transaksi yang sah, mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat dan melindungi
perusahaan dari kerugian.
Retrospective Examination yang
dilakukan oleh Auditor Eksternal diarahkan untuk mendeteksi fraud sebelum
menjadi besar dan membahayakan perusahaan.
Investigation and Remediation yang
dilakukan forensik auditor. Peran auditor forensik adalah menentukan tindakan
yang harus diambil terkait dengan ukuran dan tingkat kefatalan fraud,
tanpa memandang apakah fraud itu hanya berupa pelanggaran
kecil terhdaap kebijakan perusahaan ataukah pelanggaran besar yang berbentuk
kecurangna dalam laporan keuangan atau penyalahgunaan aset.
Mengapa Pencegahan?
Keberhasilan
kegiatan memerangi fraud, setelah korupsi terjadi adalah suatu
ironi tersendiri dalam upaya penanggualan fraud karena semakin
banyak mendeteksi dan menyelesaikan kasus berindikasi fraud, bukan
merupakan kondisi umum yang dikehendaki masyarakat, sebab pada dasarnya
kejadian fraud bukanlah kejadian yang dikehendaki masyarakat.
Pencegahan fraud bisa
dianalogikan dengan penyakit, yaitu lebih baik dicegah dari pada diobati. Jika
menunggu terjadinya fraud baru ditangani itu artinya sudah ada
kerugian yang terjadi dan telah dinikmati oleh pihak terntu, bandingkan bila
kita berhasil mencegahnya, tentu kerugian belum semuanya beralih ke
pelaku fraud tersebut. Dan bila fraud sudah
terjadi maka biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar untuk memulihkannya
daripada melakukan pencegahan sejak dini.
Untuk melakukan pencegahan,
setidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan yaitu (1) membangun individu
yang didalamnya terdapat trust and openness, mencegah benturan
kepentingan, confidential disclosure agreement dan corporate
security contract. (2) Membangun sistem pendukung kerja yang meliputi
sistem yang terintegrasi, standarisasi kerja, aktifitas control dan
sistem rewards and recognition. (3) membangun sistem monitoring
yang didalamnya terkandung control self sssessment, internal
auditor dan eksternal auditor
Peran Internal Auditor
Pendeteksian fraud
oleh auditor internal merupakan salah satu peran dari kegiatan internal
auditing yang dijalankan dalam organisasi. Standards No. 1210.A2
menyatakan sebagai berikut: “The internal auditor should have
sufficient knowledge to identify the indicators of fraud but is not expected to
hace the expertise of a person whose primary responsibility is detecting and
investigating fraud”.
Merujuk pada standar profesi
diatas, auditor internal diharuskan memiliki pengetahuan yang
cukup untuk mendeteksi adanya indikasi fraud dalam organisasi.
Pengetahuan yang harus harus dimiliki auditor internal termasuk
pula pengetahuan mengenai karakteristik fraud, teknik-teknik yang
digunakan dalam melakukan fraud, dan jenis-jenis fraudyang
mungkin terjadi pada berbagai proses bisnis.
Auditor internal bertanggung
jawab dalam mendeteksi fraud yang mungkin telah terjadi sedini mungkin, sebelum
memebawa dampak yang lebih buruk pada organisasi. Pendeteksian tersebut dapat
dilakukan pada saatmenjalankan kegiatan internal auditing. Pada
saat melakukan audit, auditor internal dapat memfokuskan diri pada area-area
yang memeiliki risiko tinggi terjadinya fraud seperti transaski kas,
rekonsiliasi bank, proses pengadaan, penjualan, dll.
Jika auditor internal menemukan suatu
indikasi terjadinya fraud dalam organisasi, auditor
internal harus melaporkannya kepada pihak-pihak terkait dalam
organsiasi tersebut, seperti audit committee. Auditor internal
dapat memberikan rekomendasi dilakukannya investigasi yang diperlukan untuk
menyelidiki fraud tersebut.
Dalam sektor publik. Auditor
internal dapat dilakukan oleh inspektorat di masing-masing department
dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”) berdasarkan
permintaan dari pemerintah. Teknis dan proses auditnya tidak jauh berbeda
dengan yang dilakukan di sektor swasta.
Peran Eksternal Auditor
Dalam melaksanakan
tanggung jawab profesionalnya seorang auditor eksternal dibatasi oleh
standar-standar auditing yang berlaku. Tanggung jawab auditor sehubungan dengan
fraud dijelaskan secara umum dalam SA seksi 110 – Tanggung jawab dan fungsi
auditor independen paragraph 02: “Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan
dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan”.
Tanggung jawab auditor dalam mendeteksi fraud tersebut
dijabarkan lebih lanjut dalam SA seksi 316 – pertimbangan atas kecurangan dalam
audit laporan keuangan. Berdasarkan SA Seksi 316 tersebut, auditor harus secara
khusus menaksir risiko salah saji material dalam laoran keuangan sebagai akibat
dari kecurangan dan harus memperhatikan taksiran risiko ini dalam mendesain
prosedur audit yang akan dilaksanakan. Prosedur audit mungkin berubah apabila
terjadi fraud.
Selanjutnya dalam SA Seksi 317 –
Unsur tindakan pelanggaran hukum oleh klien, dijelaskan bahwa apabila terjadi
unsur tindakan pelanggaran hukum (termasuk fraud) maka auditor akan
mengumpulkan informasi tentang sifat pelanggaran, kondisi terjadinya
pelanggaran dan dampak potensialnya terhadap laporan keuangan. Apabila
dibutuhkan auditor dapat berkonsultasi dengan penasehat hukum dan melakukan
prosedur audit tambahan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
sifat pelanggaran yang terjadi. Terungkapanya fraud, yang
berrdampak pada denda dan kerugian, harus diungkapakan dalam catatan atas
laporan keungan. Lebih jauh lagi, bila fraud yang terjadi
sangat material dan bisa mempengaruhi kewajaran laporan keuangan, maka auditor
tidak dapat memberikan opini “wajar tanpa pengecualian”.
Pada sektor public, yang menjadi
auditor eksternal adalah Badan Pemerika keuangan (“BPK”) berdasarkan UU No 15
tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Dalam UU ini diatur bahwa BPK melaksanakan pemeriksaaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keungan Negara. Pemeriksaan tersebut terdiri dari pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Kebijakan Anti Fraud
Beberapa Perusahaan besar telah
menyadari bahaya besar akibat fraud, mereka telah melakukan
perencanaan sedini mungkin terhadap pencegahan fraud ini.
Tengok saja Telkom Grup dan Astra Grup, kedua Perusahaan ini telah
mengantisipasi fraud yang diwujudkan dalam kebijakan
anti fraud yang diterapkan di dalam peruashaan.
1. Telkom Group
Grup Astra memberikan perhatian yang
demikian besar dalam pengembangan praktek Good Corporate Governance(GCG)
dengan standar tinggi. Beberapa paket kebijakan telah dibuat untuk mendukung
GCG diseluruh Astra Grup yang dimonitor oleh Komite Audit, Komite Renumerasi
dan Nominasi, Komite Eksekutif, kelompok Manajemen Resiko dan Departemen Audit
Internal.
Untuk memberikan petunjuk yang jelas
dan bagaimana karyawan melaksanakan tugas-tugasnya, Grup Astra telah membuat
buku pedoman yang komprehensif, yaitu “Pedoman Etika Bisnis dan kerja”, yang
mencakup semua aspek dalam berhubungan dengan pihak ketiga dan masyarakat luas
secara bertanggung jawab dan professional. Selain itu Astra juga mengeluarkan
pedoman lainnya untuk memberikan kepastian dan assurance bahwa
seluruh aktivitas telah menerapkan pola yang sesuai dengan GCG, pedoman-pedoamn
itu yaitu: pedoman sistem audit dan manajemen risiko, pedoman benturan
kepentingan, peraturan mengenai informasi orang dalam, pedoman kewajiban sosial
perusahaan, pedoman manajemen sumber daya manausia, pedoman direksi dan komisaris
Astra, kebijakan pelaporan atas pelanggaran etika, kebijakan atas penyampaian
laporan tahunan dan kebijakan transaksi material dan perubahan kegiatan usaha.
Sebagai perusahan publik yang juga
melantai di bursa internasional (NYSE dan LSE) Telkom berupaya mewujudkan tata
kelola perusahaan yang bersih sebagai mana tuntutan dari aturan Sarbanes
Oxley Act (SOA) yang dianut Telkom Grup. Telkom secara berkala terus
mengeluarkan berbagai program yang memastikan kesempatan berbuat curang (fraud)
itu tertutup. Didalam program anti fraud tersebut
terdapat code of ethics, whistleblower policy, organization
structure dan Human Resource Policy.
Program whistleblower yang
diterapkan Telkom dimaksudkan untuk menciptakan sebuah sistem yang memungkinkan
perusahaan dapat melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan atau indikasi
adanya fraud, dengan begitu Telkom dapat secara lebih awal melakukan
langkah-langkah koreksi dan mitigasi yang diperlukan untuk mengamankan asset,
reputasi dan risiko kerugian yang mungkin timbul.
Selain itu Telkom juga
menerapkan Enterprise Risk Management (ERM) yang disusun oleh
COSO. Beberapa kebijakan yang dilakukan Telkom terkait penerapan ERM ini antara
lain: (1) peningkatan kebijakan melalui evaluasi, perbaikan, peningkatan,
distribusi dan kebijakan internal untuk mendukung pengelolaan resiko; (2)
Peningkatan pemahaman proses bisnis yang efektif melalui penyederhanaan atau
penghapusan proses bisnis yang kurang efektif; (3) pelaksanaan pengkajian
risiko dan langkah mitigasi yang meliputi inisiatif startegis, RKAP, dan
evaluasi diri atas pengendalian risiko seluruh unit; (4) perlindungan asset
melalui penyediaan informasi yang memadai dan akurat hingga menciptakan
efektifitas dan efisiensi proses bisnis serta kepatuhan terhadap peraturan